Menunggu Senja
Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya. Membuat lukisan alam yang begitu menakjubkan. Di tambah dengan hamparan perkebunan teh yang berada di sekelilingku yang sangat menyejukkan hati setiap orang yang memandangnya.
Tak
henti-hentinya aku mengabadikan momen langka seperti ini yang tidak bisa aku
dapatkan di perkotaan seperti Jakarta—tempat tinggalku. Aku memang tinggal di
Jakarta. Tapi saat ini aku sedang berada di rumah nenekku—di bandung. Untuk
berlibur dari aktivitasku yang padat di Jakarta. Ini adalah hobbi ku—memotret.
Setiap kali aku berkunjung ke sini, tempat pertama yang aku kunjungi adalah
bukit kecil yang berada di sekeliling kebun teh tak jauh dari rumah nenekku.
Dulu sewaktu
kecil. Aku pernah tinggal di sini sampai umurku enam tahun. Lalu aku pindah ke
Jakarta karena untuk memudahkan pekerjaan ayahku di sana. Dulu aku sering
benget main di bukit ini. Mungkin bisa di bilang hampir setiap hari aku ke
sini. Bukit ini adalah tempat favoritku dari dulu hingga sekarang. Karena bukit
ini menyimpan sejuta kenangan indah yang tak mungkin aku lupakan.
“Aduh neng Vio ternyata di sini.
Mang jangkung cariin kirain kamana,” ucap lelaki paruh baya yang bernama mang
jangkung. Mang jangkung adalah pekerja di rumah nenekku. Sebelum aku lahir, dia
sudah bekerja sampai saat ini. Karena tubuhnya yang kurus dan tinggi jadi ia di
panggil mang jangkung. Padahal sih nama aslinya Ujang Supardi.
Oh
iya kenalin nama aku Violin Andreas. Biasa di panggil Vio. Dan kini umurku
menginjak Sembilan belas tahun. “Ada apa mang?” jawab+tanyaku sambil terus
memotret.
“Itu di panggil oma katanya di
suruh istirahat dulu, eneng kan baru sampe. Pasti capek atuh.” Jawabnya dengan
logat sunda yang begitu kental.
“Ya
udah mamang jalan duluan, nanti aku nyusul. Tanggung dua foto lagi mang,” ucapku
sambil melirik ke arah mang jangkung untuk menyakinkannya.
“Ya
udah kalau kitu. Mamang jalan duluan nya?” tanyanya lagi
“Ya
udah siip mang,” jawabku sambil mengacungkan salah satu jempol ku ke arahnya.
Saat
bayangan tubuh mang jangkung sudah tak terlihat lagi. Aku pun memutuskan untuk
menyusulnya pulang. Saat di jalan arah belokan ke rumah nenek, aku melihat mang
jangkung sedang ngobrol dengan pemuda sepantaran denganku. Dan tak lama ia pun
melanjutkan jalannya kembali. Aku pun kembali focus dengan hasil jepretanku
tadi.
‘BRUK!!’
“Aaww…” rintihku saat tak sengaja
menabrak seseorang.
“Maaf” ucap orang itu terlebih
dahulu meminta maaf.
“Iyaa..” jawabku singkat. Ternyata
orang yang ku tabrak tadi adalah orang yang tadi ku lihat ngobrol dengan mang
jangkung. Aku pun langsung melanjutkan jalanku. “Mang tungguin….” Teriakku lalu
berlari menyusul mang jangkung. Orang itu pun hanya mengerutkan keningnya
dalam.
***
Ke esokan paginya saat aku ingin
pergi ke bukit. Tanpa sebab yang pasti tiba-tiba saja hujan datang. Padahal
langin yang awalnya sudah mau menampakkan sinarnya dari ufuk timur kembali
gelap oleh awan mendung yang tiba-tiba
muncul. Tapi aku tetap melanjutkan pergi ke bukit dengan menggunakan payung
karena hujan tidak terlalu deras.
Sesampainya
aku di bukit. Hujan pun perlahan berhenti. Hanya menyisahkan rintik-rintik
kecil. Tiba-tiba saja sebuah pelanggi muncul di depanku. Entah sejak kapan
sudah berada di situ. Yang jelas saat aku menengadahkan kepalaku, aku sudah
melihatnya. Sebuah pelangi yang begitu indah. Tak mau membuang waktu aku pun
mengabadikannya. Tapi aku mendapat kesulitan untuk memegang kamera karena di tangan
kiriku sudah memegang payung. Akhirnya aku pun menjepit payung ku di pundak dan
aku mulai memotret.
“Yah….
Yah… Yah…” ucapku saat payung di pundakku hampir jatuh tertiup angina. Saat aku
menoleh untuk mengambil payungku. Akupun mendapati sebuah tangan sudah
mengambil payung dari pundakku. “Orang itu lagi” umpatku dalam hati. “Thanks”
Aku pun hendak mangambil payungku kembali.
“Udah
lanjutin motretnya aja dulu biar ini aku yang pegangin. Pelangi itu gak sampe
sepuluh menit munculnya.” Ucapnya dingin sambil terus memandang lurus ke arah
pelangi. Aku pun segera mengabadikannya lagi.
Saat ku rasa cukup, aku pun berbalik
menghadapnya. “Makasih udah nolong aku,” ucapku tulus.
“iya
sama-sama,” jawabnya dingin. Suasana berubah menjadi hening kembali. Hujan pun
sudah benar-benar berhenti. Aku pun menutup payungku dan hendak pulang karena
pelangi tadi sudah tak terlihat.
“Mau
kemana?” tanyanya memberhentikan langkahku.
“Mau
balik. Kenapa?” Tanya ku balik.
“Kamu
orang baru ya di sini?” tanyanya to the poin.
“iya,
aku lagi liburan di sini. Tapi dulu aku pernah tinggal di sini waktu kecil,”
jawabku menjelaskan.
“Waktu
kecil?” tanyanya mengulang ucapanku. “sekarang tinggal di mana?” lanjutnya
lagi.
“Di
rumah oma ku. Oma Rini yang rumahnya di ujung belokan sana” jawabku.
Tiba-tiba saja ia berhambur
memelukku. Aku pun tersentak kaget di buatnya. Apa-apaan sih nih orang baru
kenal udah peluk-peluk segala. Aku pun mendorongnya menjauh. “Gak sopan banget
kamu yah,” ucapku kesal.
“Oliin
ini aku Aris” ucapnya sudah tak dingin seperti sebelumnya.
“Aris..?” ucapku sambil berfikir.
“Aris..?” ucapku sambil berfikir.
“Ini
aku lin. Bisma Karisma Aris sahabat kamu,” ucapnya mencoba membantu ingatanku.
Apa
tadi dia bilang? Sahabat?. “Oh Ariiissss….” Ucapku sambil berbalik memeluk dia.
Aku baru ingat, ternyata dia Aris sahabat kecilku dulu sebelum aku pindah ke
Jakarta. Aku saja tak mengenalinya karena dulu dia agak sedikit gemuk. Tidak
seperti sekarang, tubuhnya kurus tapi standar lah untuk remaja seusianya. Aris
pun menyambut pelukanku dengan hangat. Pelukan yang sudah tiga belas tahun tak
ku rasakan. Tetapi tetap hangat dan nyaman seperti dulu.
Hari
ini pun aku habiskan berdua dengan Aris. Melepas rasa rindu dan mengingat-ingat
masa kecil dulu sambil
berkeliling-keliling di daerah sini. Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Saat
tengah asik bercanda gurau di tengah kebun teh. Tiba-tiba hujan turun dan kami
akhirnya memutuskan untuk pulang.
Sesampainya
aku di rumah. Aku melihat papah dan mamahku sudah bersiap-siap untuk pergi. Aku
pun berjalan menghampiri mereka yang duduk di sofa bareng oma.
“Mamah
sama papah mau kemana?” Tanya ku bingung sambil duduk di sebelah mamah.
“Kita
mau balik ke Jakarta dulu ada urusan yang harus kita selesaikan. Kamu gak papa
kan di sini sama oma?” Tanya mamah sambil mengelus rambut panjangku.
“Terus
kapan balik ke sininya lagi?” Tanya ku tanpa menjawab pertanyaan mamah.
“Kita
ke sana dua hari nanti minggu juga balik. Sekalian mau ngurus keberangkatan
kita ke Singapore” ucap papah menjelaskan.
“Mah
Vio udah betah disini. Vio gak mau balik ke Singapore lagi. Please mah pah.
Izinin Vio tinggal disini lebih lama lagi.”
“Vio
sayang. Pengobatan kamu belum selesai. Papah sudah dapat pendonor jantung yang
cocok untuk kamu. Makanya kita harus balik ke sana untuk operasi.”
“Vio
gak mau operasi. Nanti kalau operasinya gagal gimana pah mah? Vio takut
niinggalin orang-orang yang Vio sayang disini.” Rengekku. Air mataku sudah
dipelupuk mataku dan ingin berlomba-lomba keluar.
“Kalau
kamu gak mau itu terjadi. Kamu harus optimis dong sayang.” Ucap mamah
menenangkan.
***
Keesokan
sorenya aku habiskan waktuku bermain bersama Bisma di bukit sambil menunggu
senja yang tinggal hitungan menit.
“Aku seneng deh bisa liat senja
dari sini lagi. Walau tak sebagus kalau liat dari pantai.” Ucapku sambil
menatap lurus kedepan. Memperhatikan langit yang mulai berubah warna menjadi
jingga. “Baru kali ini lagi aku bisa merasakan kebebasan.” Lanjutku. Bisma yang
sedari duduk disampingku dan melakukan hal yang sama denganku pun kini menoleh
kearahku dengan tatapan bingung.
“Mungkin
ini terakhir kalinya aku ajak kamu aku bisa kaya gini.” Gumamku tanpa ku
sadari.
“Maksud
kamu? Kamu mau balik ke Jakarta lagi?” Tanya Bisma.
“Bis
tolong fotoin aku disitu dong.” Ucapku cepat. Lebih tepatnya lagi sih
mengalihkan pembicaraan agar Bisma tidak terus bertanya yang bukan-bukan. Bisma
pun menurut.
“Ayo
Bis sekarang giliran aku yang fotoin kamu.” Ucapku sambil ingin mengambil
kamara dari tangan Bisma. Namun Bisma menahannya. Mata kami pun refleks
bertatapan hingga beberapa detik.
“Kita
foto berdua aja.” Ucap Bisma sambil tersenyum. Aku pun langsung menarik
tanganku.
Langit
kini sudah berubah menjadi gelap yang di hiasi oleh bintang-bintang. Aku pun
menghentikan langkahku saat aku menyadari Bisma berhenti.
“Kenapa?”
Tanyaku. Tiba-tiba saja Bisma meraih tanganku dan membawanya kedalam gemgaman
hangatnya. Saat itu juga, aku merasakan pipiku memerah dan dadaku mulai terasa
sesak. Dan aku menyadari kalau penyakitku kambuh karena aku belum meminum obat
seharian ini.
“Aku
mau bilang sesuatu sama kamu.” Ucap Bisma. Hanya kata-kata itu yang bisa ku
dengar dengan jelas, karena selebihnya aku hanya merasakan sesak di dadaku. Dan
akhirnya akupun tak sadarkan diri.
Saat
aku membuka kedua mataku. Aku langsung melihat ke sekelilingku. Dan ternyata
aku sudah berada di kamarku. Mungkin semalam Bisma yang membawaku pulang.
Fikirku. Ku lirik jam dinding yang terpasang di sudut kamarku. Waktu kini sudah
menunjukkan pukul empat belas lewat tiga puluh menit.
“Ternyata
kamu sudah bangun sayang. Nih mamah bawakan makanan. Kamu seharian ini belum
makan. Habis itu obatnya diminum ya.” Ucap mamahku sambil menaruh nampan
berisikan makanan dan obat di atas meja.
“Oh iya. Semalem Aris nginep disini
loh jagain kamu. Dan tadi sebelum pulang. Dia nitip pesan. Katanya nanti
sorekamu diminta datang kebukit ada yang mau diomongin sebelum kamu pergi.”
Ucap mamah sambil duduk di sisi ranjangku. “Jadi ini alasan kamu kemarin nolak
balik ke Singapore? Kamu takut kehilangan Aris. Iya?” Tanya mamahku. Pertanyaan
itu sungguh memojokkanku. Tapi semua itu benar dan aku hanya bisa tersenyum
malu.
“Emang
kita balik ke Jakarta jam berapa mah?” Tanyaku.
“Nanti
habis magrib sekitar setengah tujuan lah dan besok pagi kita harus kebandara.”
Akupun hanya mengangguk pasrah.
***
Sore
ini tepat pukul 17:00 wib. Aku pergi menuju bukit untuk menemui Bisma sekaligus
pamit. Aku yakin, dia pasti sudah mengetahui tentang kepergianku ini. Sesampainya
disana. Aku melihat Bisma sedang bermain gitar. Akupun berjalan mendekatinya
lalu duduk disampingnya. Memejamkan mataku dan ikut menikmati permainan
gitarnya.
“Kenapa
kamu gak pernah bilang kalau kamu sakit?” Ucap Bisma setelah menyelesaikan permainan
gitarnya. Aku pun membuka mataku dan menoleh kearahnya.
“Eemmm
karna kamu gak pernah nanya itu Bis.” Jawabku gugup.
“Jangan
jadiin itu sebagai alasan deh Lin.” Ucap Bisma dengan tatapan mata yang begitu
tajam.
“oke
aku minta maaf karena gak pernah kasih tahu kamu soal penyakitku. Karena aku
rasa ini tuh gak penting dan pasti kamu gak bakal perduli soal ini.”
“Itu
kata kamu. Bukan aku. Aku tuh perduli Lin sama kamu dan ini tuh penting buat
aku. Karena aku sayang dan cinta sama kamu.” Ucapnya mengagetkanku. Bisma pun
meraih kedua tanganku dan menggenggamnya seperti kemarin. “Would youb be my
girlfriend?” Ucap Bisma lalu mencium kedua tanganku. Air mataku pun tumpah
dibuatnya. Aku sungguh tak percaya dengan ini semua.
“Oh
iya aku punya ini.” Ucap Bisma sambil memberikan rangkaian bmawar merah yang
begitu yang terangkai begitu indah. Aku hanya bisa menatap dengan sendu tanpa
bisa berkata apa-apa lagi. Kumandang adzan magrib mengingatkan ku kalau aku
harus segera pulang.
“Maaf
Bis, aku harus pergi.” Ucapku sambil melepaskan genggaman tangannya dan berlalu
dari hadapannya.
“Bersama senja. Aku akan selalu menunggu kamu disini
Lin…” Teriaknya.
***
Aku
tahu, kamu gak bakal jawab pertanyaanku tadi.
Karena
kamu gak mau nyakitin aku kan jika seandainya operasi jantung kamu gagal?
Kamu
gak boleh ngomong begitu.
Karena
aku sangat yakin dan percaya kalau semua akan berjalan lancar.
Dan
kamu akan baik-baik saja.
Oh
iya, cincin itu sengaja aku jadiin liontin.
Akupun
berhenti sejenak membaca surat yang terselip di mawar dari bisma tadi dan
langsung mencari liontin yang dimaksud Bisma di surat itu. Dan benar saja. Ada
sebuat liontin berbandul cincin perak yang diikat pada salah satu batang mawar.
Akupun langsung melanjutkan membaca surat itu.
Agar
bisa kamu pakai kemana saja.
Dna
karena kamu belum menjawab pertanyaan ku tadi.
Aku
tahu, kamu juga sayang kan sama aku?
Aku
mohon, kalau kamu balik ke sini lagi.
Cincin
itu sudah melingkar di jari manis kamu Lin.
Kamu
bersediakan?
Inget
Lin kamu harus optimis dan jangan lupa.
Ada
aku disini yang selalu menunggu kamu pulang.
Bersama
senja aku akan selalu setia nunggu kamu.
-Aris-
Bibirku
pun tertarik membentuk sebuah senyuman yang tulus dari dalam hatiku setelah
membaca surat dari Bisma itu. Dan aku langsung memakai Liontin itu seperti
pesan Bisma. Aku yakin semua akan baik-baik saja nanti dan selamanya setelah
aku berhasil melakukan operasi ini.
***
-3 Bulan kemudian-
“Bandung!
I’am coming….”
Setelah
3 bulan aku melanjutkan pemulihan pasca operasi. Kini aku balik ke bandung untuk
menjemput cintaku.
“Misi
mas, saya mau ngamen.” Ucap seorang pengamen dengan wajah tertutup oleh topi.
Hari
ini…
Adalah
lembaran baru bagiku…
Ku
disini…
Karena
kau yang memilihku.
Tak
pernah ku ragu… akan cintaku.
Inilah
diriku dengan melody untukmu…
Dan
bila…
Aku
berdir tegar...
Sampai
hari ini.
Bukan
karena ku atau hebatku…
Semua
karena cinta…
Semua
karena cinta…
Tak
mampu diriku dapat berdiri tegar…
Trimakasih
cinta…
Ucapnya
menyudahi lagu dan permainan gitar yang tak begitu bagus.
“Lagunya
bagus mba. Saya jadi inget seseorang. Nih…” ucap Bisma sambil memberikan
selembar uang lima ribuan kepada pengamen tadi.
“Ya
iyalah Bis. Aku kan nyanyinya pake hati.” Ucap pengamen tadi sambil melepas
topinya.
“Olin?”
-END-
(Penulis: Fitri Sigma)
0 komentar:
Post a Comment