Wednesday 1 October 2014

Menunggu Senja



Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya. Membuat lukisan alam yang begitu menakjubkan. Di tambah dengan hamparan perkebunan teh yang berada di sekelilingku yang sangat menyejukkan hati setiap orang yang memandangnya.
            Tak henti-hentinya aku mengabadikan momen langka seperti ini yang tidak bisa aku dapatkan di perkotaan seperti Jakarta—tempat tinggalku. Aku memang tinggal di Jakarta. Tapi saat ini aku sedang berada di rumah nenekku—di bandung. Untuk berlibur dari aktivitasku yang padat di Jakarta. Ini adalah hobbi ku—memotret. Setiap kali aku berkunjung ke sini, tempat pertama yang aku kunjungi adalah bukit kecil yang berada di sekeliling kebun teh tak jauh dari rumah nenekku.
Dulu sewaktu kecil. Aku pernah tinggal di sini sampai umurku enam tahun. Lalu aku pindah ke Jakarta karena untuk memudahkan pekerjaan ayahku di sana. Dulu aku sering benget main di bukit ini. Mungkin bisa di bilang hampir setiap hari aku ke sini. Bukit ini adalah tempat favoritku dari dulu hingga sekarang. Karena bukit ini menyimpan sejuta kenangan indah yang tak mungkin aku lupakan.
“Aduh neng Vio ternyata di sini. Mang jangkung cariin kirain kamana,” ucap lelaki paruh baya yang bernama mang jangkung. Mang jangkung adalah pekerja di rumah nenekku. Sebelum aku lahir, dia sudah bekerja sampai saat ini. Karena tubuhnya yang kurus dan tinggi jadi ia di panggil mang jangkung. Padahal sih nama aslinya Ujang Supardi.
            Oh iya kenalin nama aku Violin Andreas. Biasa di panggil Vio. Dan kini umurku menginjak Sembilan belas tahun. “Ada apa mang?” jawab+tanyaku sambil terus memotret.
“Itu di panggil oma katanya di suruh istirahat dulu, eneng kan baru sampe. Pasti capek atuh.” Jawabnya dengan logat sunda yang begitu kental.
“Ya udah mamang jalan duluan, nanti aku nyusul. Tanggung dua foto lagi mang,” ucapku sambil melirik ke arah mang jangkung untuk menyakinkannya.
“Ya udah kalau kitu. Mamang jalan duluan nya?” tanyanya lagi
“Ya udah siip mang,” jawabku sambil mengacungkan salah satu jempol ku ke arahnya.
            Saat bayangan tubuh mang jangkung sudah tak terlihat lagi. Aku pun memutuskan untuk menyusulnya pulang. Saat di jalan arah belokan ke rumah nenek, aku melihat mang jangkung sedang ngobrol dengan pemuda sepantaran denganku. Dan tak lama ia pun melanjutkan jalannya kembali. Aku pun kembali focus dengan hasil jepretanku tadi.
‘BRUK!!’
“Aaww…” rintihku saat tak sengaja menabrak seseorang.
“Maaf” ucap orang itu terlebih dahulu meminta maaf.
“Iyaa..” jawabku singkat. Ternyata orang yang ku tabrak tadi adalah orang yang tadi ku lihat ngobrol dengan mang jangkung. Aku pun langsung melanjutkan jalanku. “Mang tungguin….” Teriakku lalu berlari menyusul mang jangkung. Orang itu pun hanya mengerutkan keningnya dalam.
***
            Ke esokan paginya saat aku ingin pergi ke bukit. Tanpa sebab yang pasti tiba-tiba saja hujan datang. Padahal langin yang awalnya sudah mau menampakkan sinarnya dari ufuk timur kembali gelap oleh awan mendung  yang tiba-tiba muncul. Tapi aku tetap melanjutkan pergi ke bukit dengan menggunakan payung karena hujan tidak terlalu deras.
            Sesampainya aku di bukit. Hujan pun perlahan berhenti. Hanya menyisahkan rintik-rintik kecil. Tiba-tiba saja sebuah pelanggi muncul di depanku. Entah sejak kapan sudah berada di situ. Yang jelas saat aku menengadahkan kepalaku, aku sudah melihatnya. Sebuah pelangi yang begitu indah. Tak mau membuang waktu aku pun mengabadikannya. Tapi aku mendapat kesulitan untuk memegang kamera karena di tangan kiriku sudah memegang payung. Akhirnya aku pun menjepit payung ku di pundak dan aku mulai memotret.
“Yah…. Yah… Yah…” ucapku saat payung di pundakku hampir jatuh tertiup angina. Saat aku menoleh untuk mengambil payungku. Akupun mendapati sebuah tangan sudah mengambil payung dari pundakku. “Orang itu lagi” umpatku dalam hati. “Thanks” Aku pun hendak mangambil payungku kembali.
“Udah lanjutin motretnya aja dulu biar ini aku yang pegangin. Pelangi itu gak sampe sepuluh menit munculnya.” Ucapnya dingin sambil terus memandang lurus ke arah pelangi. Aku pun segera mengabadikannya lagi.
            Saat ku rasa cukup, aku pun berbalik menghadapnya. “Makasih udah nolong aku,” ucapku tulus.
“iya sama-sama,” jawabnya dingin. Suasana berubah menjadi hening kembali. Hujan pun sudah benar-benar berhenti. Aku pun menutup payungku dan hendak pulang karena pelangi tadi sudah tak terlihat.
“Mau kemana?” tanyanya memberhentikan langkahku.
“Mau balik. Kenapa?” Tanya ku balik.
“Kamu orang baru ya di sini?” tanyanya to the poin.
“iya, aku lagi liburan di sini. Tapi dulu aku pernah tinggal di sini waktu kecil,” jawabku menjelaskan.
“Waktu kecil?” tanyanya mengulang ucapanku. “sekarang tinggal di mana?” lanjutnya lagi.
“Di rumah oma ku. Oma Rini yang rumahnya di ujung belokan sana” jawabku.
            Tiba-tiba saja ia berhambur memelukku. Aku pun tersentak kaget di buatnya. Apa-apaan sih nih orang baru kenal udah peluk-peluk segala. Aku pun mendorongnya menjauh. “Gak sopan banget kamu yah,” ucapku kesal.
“Oliin ini aku Aris” ucapnya sudah tak dingin seperti sebelumnya.
“Aris..?” ucapku sambil berfikir.
“Ini aku lin. Bisma Karisma Aris sahabat kamu,” ucapnya mencoba membantu ingatanku.
            Apa tadi dia bilang? Sahabat?. “Oh Ariiissss….” Ucapku sambil berbalik memeluk dia. Aku baru ingat, ternyata dia Aris sahabat kecilku dulu sebelum aku pindah ke Jakarta. Aku saja tak mengenalinya karena dulu dia agak sedikit gemuk. Tidak seperti sekarang, tubuhnya kurus tapi standar lah untuk remaja seusianya. Aris pun menyambut pelukanku dengan hangat. Pelukan yang sudah tiga belas tahun tak ku rasakan. Tetapi tetap hangat dan nyaman seperti dulu.
            Hari ini pun aku habiskan berdua dengan Aris. Melepas rasa rindu dan mengingat-ingat masa kecil dulu  sambil berkeliling-keliling di daerah sini. Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Saat tengah asik bercanda gurau di tengah kebun teh. Tiba-tiba hujan turun dan kami akhirnya memutuskan untuk pulang.
            Sesampainya aku di rumah. Aku melihat papah dan mamahku sudah bersiap-siap untuk pergi. Aku pun berjalan menghampiri mereka yang duduk di sofa bareng oma.
“Mamah sama papah mau kemana?” Tanya ku bingung sambil duduk  di sebelah mamah.
“Kita mau balik ke Jakarta dulu ada urusan yang harus kita selesaikan. Kamu gak papa kan di sini sama oma?” Tanya mamah sambil mengelus rambut panjangku.
“Terus kapan balik ke sininya lagi?” Tanya ku tanpa menjawab pertanyaan mamah.
“Kita ke sana dua hari nanti minggu juga balik. Sekalian mau ngurus keberangkatan kita ke Singapore” ucap papah menjelaskan.
“Mah Vio udah betah disini. Vio gak mau balik ke Singapore lagi. Please mah pah. Izinin Vio tinggal disini lebih lama lagi.”
“Vio sayang. Pengobatan kamu belum selesai. Papah sudah dapat pendonor jantung yang cocok untuk kamu. Makanya kita harus balik ke sana untuk operasi.”
“Vio gak mau operasi. Nanti kalau operasinya gagal gimana pah mah? Vio takut niinggalin orang-orang yang Vio sayang disini.” Rengekku. Air mataku sudah dipelupuk mataku dan ingin berlomba-lomba keluar.
“Kalau kamu gak mau itu terjadi. Kamu harus optimis dong sayang.” Ucap mamah menenangkan.
***
            Keesokan sorenya aku habiskan waktuku bermain bersama Bisma di bukit sambil menunggu senja yang tinggal hitungan menit.
“Aku seneng deh bisa liat senja dari sini lagi. Walau tak sebagus kalau liat dari pantai.” Ucapku sambil menatap lurus kedepan. Memperhatikan langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. “Baru kali ini lagi aku bisa merasakan kebebasan.” Lanjutku. Bisma yang sedari duduk disampingku dan melakukan hal yang sama denganku pun kini menoleh kearahku dengan tatapan bingung.
“Mungkin ini terakhir kalinya aku ajak kamu aku bisa kaya gini.” Gumamku tanpa ku sadari.
“Maksud kamu? Kamu mau balik ke Jakarta lagi?” Tanya Bisma.
“Bis tolong fotoin aku disitu dong.” Ucapku cepat. Lebih tepatnya lagi sih mengalihkan pembicaraan agar Bisma tidak terus bertanya yang bukan-bukan. Bisma pun menurut.
“Ayo Bis sekarang giliran aku yang fotoin kamu.” Ucapku sambil ingin mengambil kamara dari tangan Bisma. Namun Bisma menahannya. Mata kami pun refleks bertatapan hingga beberapa detik.
“Kita foto berdua aja.” Ucap Bisma sambil tersenyum. Aku pun langsung menarik tanganku.
            Langit kini sudah berubah menjadi gelap yang di hiasi oleh bintang-bintang. Aku pun menghentikan langkahku saat aku menyadari Bisma berhenti.
“Kenapa?” Tanyaku. Tiba-tiba saja Bisma meraih tanganku dan membawanya kedalam gemgaman hangatnya. Saat itu juga, aku merasakan pipiku memerah dan dadaku mulai terasa sesak. Dan aku menyadari kalau penyakitku kambuh karena aku belum meminum obat seharian ini.
“Aku mau bilang sesuatu sama kamu.” Ucap Bisma. Hanya kata-kata itu yang bisa ku dengar dengan jelas, karena selebihnya aku hanya merasakan sesak di dadaku. Dan akhirnya akupun tak sadarkan diri.
            Saat aku membuka kedua mataku. Aku langsung melihat ke sekelilingku. Dan ternyata aku sudah berada di kamarku. Mungkin semalam Bisma yang membawaku pulang. Fikirku. Ku lirik jam dinding yang terpasang di sudut kamarku. Waktu kini sudah menunjukkan pukul empat belas lewat tiga puluh menit.
“Ternyata kamu sudah bangun sayang. Nih mamah bawakan makanan. Kamu seharian ini belum makan. Habis itu obatnya diminum ya.” Ucap mamahku sambil menaruh nampan berisikan makanan dan obat di atas meja.
“Oh iya. Semalem Aris nginep disini loh jagain kamu. Dan tadi sebelum pulang. Dia nitip pesan. Katanya nanti sorekamu diminta datang kebukit ada yang mau diomongin sebelum kamu pergi.” Ucap mamah sambil duduk di sisi ranjangku. “Jadi ini alasan kamu kemarin nolak balik ke Singapore? Kamu takut kehilangan Aris. Iya?” Tanya mamahku. Pertanyaan itu sungguh memojokkanku. Tapi semua itu benar dan aku hanya bisa tersenyum malu.
“Emang kita balik ke Jakarta jam berapa mah?” Tanyaku.
“Nanti habis magrib sekitar setengah tujuan lah dan besok pagi kita harus kebandara.” Akupun hanya mengangguk pasrah.
***
            Sore ini tepat pukul 17:00 wib. Aku pergi menuju bukit untuk menemui Bisma sekaligus pamit. Aku yakin, dia pasti sudah mengetahui tentang kepergianku ini. Sesampainya disana. Aku melihat Bisma sedang bermain gitar. Akupun berjalan mendekatinya lalu duduk disampingnya. Memejamkan mataku dan ikut menikmati permainan gitarnya.
“Kenapa kamu gak pernah bilang kalau kamu sakit?” Ucap Bisma setelah menyelesaikan permainan gitarnya. Aku pun membuka mataku dan menoleh kearahnya.
“Eemmm karna kamu gak pernah nanya itu Bis.” Jawabku gugup.
“Jangan jadiin itu sebagai alasan deh Lin.” Ucap Bisma dengan tatapan mata yang begitu tajam.
“oke aku minta maaf karena gak pernah kasih tahu kamu soal penyakitku. Karena aku rasa ini tuh gak penting dan pasti kamu gak bakal perduli soal ini.”
“Itu kata kamu. Bukan aku. Aku tuh perduli Lin sama kamu dan ini tuh penting buat aku. Karena aku sayang dan cinta sama kamu.” Ucapnya mengagetkanku. Bisma pun meraih kedua tanganku dan menggenggamnya seperti kemarin. “Would youb be my girlfriend?” Ucap Bisma lalu mencium kedua tanganku. Air mataku pun tumpah dibuatnya. Aku sungguh tak percaya dengan ini semua.
“Oh iya aku punya ini.” Ucap Bisma sambil memberikan rangkaian bmawar merah yang begitu yang terangkai begitu indah. Aku hanya bisa menatap dengan sendu tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Kumandang adzan magrib mengingatkan ku kalau aku harus segera pulang.
“Maaf Bis, aku harus pergi.” Ucapku sambil melepaskan genggaman tangannya dan berlalu dari hadapannya.
“Bersama senja. Aku akan selalu menunggu kamu disini Lin…” Teriaknya.                               
***
Aku tahu, kamu gak bakal jawab pertanyaanku tadi.
Karena kamu gak mau nyakitin aku kan jika seandainya operasi jantung kamu gagal?
Kamu gak boleh ngomong begitu.
Karena aku sangat yakin dan percaya kalau semua akan berjalan lancar.
Dan kamu akan baik-baik saja.
Oh iya, cincin itu sengaja aku jadiin liontin.
            Akupun berhenti sejenak membaca surat yang terselip di mawar dari bisma tadi dan langsung mencari liontin yang dimaksud Bisma di surat itu. Dan benar saja. Ada sebuat liontin berbandul cincin perak yang diikat pada salah satu batang mawar. Akupun langsung melanjutkan membaca surat itu.

Agar bisa kamu pakai kemana saja.
Dna karena kamu belum menjawab pertanyaan ku tadi.
Aku tahu, kamu juga sayang kan sama aku?
Aku mohon, kalau kamu balik ke sini lagi.
Cincin itu sudah melingkar di jari manis kamu Lin.
Kamu bersediakan?
Inget Lin kamu harus optimis dan jangan lupa.
Ada aku disini yang selalu menunggu kamu pulang.
Bersama senja aku akan selalu setia nunggu kamu.

-Aris-
            Bibirku pun tertarik membentuk sebuah senyuman yang tulus dari dalam hatiku setelah membaca surat dari Bisma itu. Dan aku langsung memakai Liontin itu seperti pesan Bisma. Aku yakin semua akan baik-baik saja nanti dan selamanya setelah aku berhasil melakukan operasi ini.
***
-3 Bulan kemudian-

“Bandung! I’am coming….”
            Setelah 3 bulan aku melanjutkan pemulihan pasca operasi. Kini aku balik ke bandung untuk menjemput cintaku.
“Misi mas, saya mau ngamen.” Ucap seorang pengamen dengan wajah tertutup oleh topi.
Hari ini…
Adalah lembaran baru bagiku…
Ku disini…
Karena kau yang memilihku.
Tak pernah ku ragu… akan cintaku.
Inilah diriku dengan melody untukmu…
Dan bila…
Aku berdir tegar...
Sampai hari ini.
Bukan karena ku atau hebatku…
Semua karena cinta…
Semua karena cinta…
Tak mampu diriku dapat berdiri tegar…
Trimakasih cinta…
Ucapnya menyudahi lagu dan permainan gitar yang tak begitu bagus.
“Lagunya bagus mba. Saya jadi inget seseorang. Nih…” ucap Bisma sambil memberikan selembar uang lima ribuan kepada pengamen tadi.
“Ya iyalah Bis. Aku kan nyanyinya pake hati.” Ucap pengamen tadi sambil melepas topinya.
“Olin?”

-END-

(Penulis: Fitri Sigma)

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2014 Sigma Magazine - Sarana Informasi & Tekonologi Majalah SMA