Saturday 20 September 2014

Sapaan Pelangi




Malam ini Gista memutuskan untuk tidak belajar, padahal ulangan kimia menatinya esok. Gista menatap layar ponselnya sesekali dia tersenyum memandangi sosok pria berkemeja yang dijadikannya sebagai walpaper. Jelas saja, dia sedang berimajinasi kalau kalau dia dapat menyentuh atau bahkan melihat langsung sosok itu. Ah, bukan yang lebih parahnya dia bercita-cita untuk menikah dengan pria tersebut. Apa ini sudah gila. Matanya  terus menerawang hingga kemudian sayu.

“Gistaaa! Gista! Bangun ini udah jam berapa?,” teriak seorang wanita yang berjalan mendekati tempat tidur  Gista.

Gista hanya merubah posisi tidurnya lalu kemudian terlelap lagi. “Gista, buruan bangun kamu bilang hari ini ada ulangan kimia?”

“Apa!” dengan setengah terpejam gadis itu berlari ke kamar mandi. Sejurus kemudian dia telah siap dan kemudian bergegas  berangkat. “Ma, aku berangkat!,” teriaknya dari luar rumahnya.

                                                                                ****

Baiklah untuk kesekian kalinya Gista hampir telat, jika saja dia tidak mempercepat langkahnya menuju pintu gerbang. Hatinya lega sesaat setelah melihat konsisi kelasnya, guru kimia itu belum datang.

“Gis, kamu kok terlambat mulu si? Udah belajar kimia belum?”

“Aduuhh Din aku itu biasa semaleman liatin fotonya Logan, kalo aku liat liat dia makin hari makin ganteng sih.”

“Jangan bilang kalo kamu belum belajar kimia? Aku  gamau ya kasih contekan ke kamu, ohya mendingan kamu ilangin tuh kebiasaan kamu itu, kalo kamu gak mau yaudah siap siap aja aku gamau jadi temen kamu lagi.”

“Eh? Kamu kok gitu sih Din?,” Belum sempat Gista melanjutkan bicaranya, Dina meraih tasnya untuk kemudian berpindah duduk dengan temannya yang lain. Gista menatap temannya kesal, ia merutukinya. Tak lama, guru kimia itu datang. Lalu kelas menjadi sunyi. Ulangan pun berlangsung.

                                                                                ****

“Nilai ulangan kamu berapa?” tanya Pelangi teman sebangkunya saat ini. Gadis berperawakan kecil bermata cokelat itu kini menatapnya. Gista tersentak, kemudian menjawab dengan nada pelan,”Lima puluh”. Ia menunuduk takut kalau temannya kaget lalu kemudian menertawakannya atau bahkan lebih parah lagi. Jujur, ia tak punya nyali untuk menanyakan balik nilai temannya itu.”Nilaiku sama kayak nilai kamu,” ucapnya kemudian. Membuat Gista menoleh kaget. “Padahal, aku udah belajar dari semalem. Tapi.. kok bisa gini ya?” sambungnya. Ucapannya tepat membuat Gista berfikir bahwa dia beruntung, tapi tidak untuk gadis disampingnya ini.

“Ohya aku dengar dengar katanya si Dina dapet nilai tertinggi lho.”

“Ohya? Dia emang pinter kimia.”

“Bukan gitu juga kali, kamu.. sama aku juga bisa dapetin nilai itu,” lantas ia tersenyum. Sejurus kemudian mereka melangkah ke perpustakaan. Entah kesadaran atau semangat dari Pelangi yang membuatnya mau ke perpustakaan. Hingga setiap hari, waktu istirahatnya dihabiskannya untuk membaca dan latihan soal, terkadang ia juga suka meminjam buku-buku itu. Sampai ulangan semesterpun datang.

“Gis, gimana kamu udah siapkan buat dapet nilai bagus?” tanya Pelangi seraya tersenyum. Manik matanya, entah kenapa selalu menguatkan dan menyemangatkan Gista. “Udah dong, kamu juga udah siapkan? Ayo kita sama-sama berusaha.” Jawab Gista yakin. Beberapa menit kemudian ulangan dimulai.    

                                                                                ****

“Gis! Jumlah nilai kamu tertinggi! Terutama nilai kimia,” Ucap salah satu temannya saat Gista baru saja memasuki kelas.

“Apa? Ah kamu bercanda ah,” Gista hanya tersenyum. Percaya atau tidak satu persatu temannya lalu memberinya ucapan selamat, ada juga yang tidak percaya dengan berperasangka yang buruk. Gista terperangah tak percaya ini semua terjadi yang semula hanya dalam angannya. Dina melangkah mendekati Gista matanya menatap tak percaya, namun ia tetap memberinya selamat. Dina tersenyum , sahabatnya sudah berubah.”Gis, kamu keren kamu luar biasa,” Dina memeluk erat Gista. Ada perasaan yang mengganjal yang membuatnya bertanya.

“Din, kamu udah gak marah kan sama aku? Ohya Pelangi kemana ya? Kok dia jam segini belum dateng?”

“Enggak kok, maaf ya kemarin kemarin aku ngejauhin kamu itu biar kamu sadar kalo kamu emang harus berubah Gis. Ohya tadi kamu bilang apa? Pelangi? Dia siapa?”

“Masa kamu gak tau? Kan waktu itu kamu pindah tuh, gak sebangku sama aku lagi. Nah terus Pelangi jadi sebangku deh sama aku,” Gista meyakinkan temannya

“Kamu mimpi ya? Waktu itu pas aku pindah dan udah gak sebangku lagi sama kamu, temen temen tuh gak ada yang mau duduk sama kamu, Gis.”

“Apa?”

Dan saat itu dia percaya, Dia harus terus menyapa hari esok. Sehangat sapa Pelangi. Terimakasih Pelangi.

(Penulis: Fitri Sigma)

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2014 Sigma Magazine - Sarana Informasi & Tekonologi Majalah SMA